Aku tak akan memaksamu untuk mencintaiku. Tapi
aku hanya ingin kamu memberi aku kesempatan untuk mengungkapkan perasaan. Aku
tak akan pernah peduli kalau nanti kamu akan benci padaku atau kamu akan
menjadikan aku sebagai musuh hidupmu. Aku tak akan peduli sama sekali, yang
penting kamu memberi kesempatan untukku.
“ Hai, Bram. Kamu ngapain disini?” tanyaku pada
Bram yang sedang berdiri tidak bersemangat ditepi pintu kelasku.
“Aku menunggumu,San.” jawabnya lesu.
“Menungguku? Buat apa?” tanyaku tak mengerti.
“Aku pengen ngomong sesuatu. Kalau kamu
bersedia, sekarang kita ke kantin yuk.” Ajak Bram sambil menyeret tanganku.
“Tapi, Bram..” aku mencoba mengelak dan
mengambil tanganku kembali. Namun, dia terlalu kuat memegang tanganku jadi mau
tak mau aku tetap mengikuti langkahnya yang panjang-panjang.
Sesampai di kantin aku hanya diam tak banyak
bicara. Begitu juga dengan Bram, dia hanya diam dan sesekali tampak melirikku.
Aku mulai jengah dengan keadaan seperti ini. Maka
dengan hati yang tak karuan aku
mencoba membuka mulut.
“ Katanya mau ngomong. Kok malah diam?” tanyaku
sambil memandangnya yang tampak lesu.
Hanya desahan nafas panjang yang dia berikan,
lalu dia tersenyum sambil memandangku dan kembali pada sikap awalnya, diam.
“Kamu kenapa, Bram? Apakah ucapanku seminggu
yang lalu telah mengganggumu?” tanyaku mulai menduga-duga. Aku jadi teringat
kejadian seminggu yang lalu, dengan kenekatan aku menyatakan perasaanku pada
Bram. Tanpa tedeng aling-aling dan
sangat gamblang aku mengatakan
perasaan cintaku pada Bram. Aku jadi geli dan sedikit menyesal kalau mengingat
hal itu. Bagaimanapun juga aku cewek normal yang masih menjunjung tinggi adat
ketimuran. Tapi, aku tak ingin menyesal di hari kemudian hanya karena menyimpan
cinta yang tak tersampaikan. Aku tak ingin hidup dalam kepura-puraan.
“San, aku ingin bicara sesuatu padamu. Tapi,
kukira tidak sekarang. Mungkin lusa.” Lalu dia meninggalkanku dalam sendiri.
Huh, gimana sih. Tadi memaksa, e sekarang
mebiarkan aku begitu saja. Enak saja kau mempermainkan aku. Hatiku sangat kesal
dengan perlakuannya yang seenak udelnya
itu. Padahal hari ini aku ada janji dengan omku yang baru pulang dari Beijing.
Akupun terlonjak kaget menyadari jarum jam yang sudah nangkring di angka 03.15.
Oh no.... mati aku! Berarti aku tadi hanya duduk gak jelas selama kurang lebih
1 Jam? Rese banget tu si Bram. Mentang-mentang aku suka padanya terus dikira
semua waktuku hanya untuk dia.. tidak Bram! Jangan anggap aku sama dengan cewek
lain. Aku segera mengambil langkah seribu dan segera mengendarai motor bebekku
yang sudah tua. Aku melaju dengn hati dongkol, namun ada perasaan bahagia yang
diam-diam menyusup dalam relung jiwaku.
Sesampai
dirumah ternyata benar, omku yang cakep, yang baru saja pulang dari luar negeri
dan menyelesaikan S2nya dijurusan Manajemen Ekonomi itu sudah berkacak pinggang
dengan memamerkan wajah manyunnya. Aku hanya cengar-cengir lalu menyapa om Bejo.
“ Siang, om. Maaf ya Sania baru pulang. Tadi ada
trouble di sekolah. Jadi Sania harus menyelesaikannya dulu.” Lalu aku segera
meluncur kedalam kamar tanpa menunggu jawaban omku dan aku berdandan ala
kadarnya, sekedar menghilangkan minyak yang mulai membanjiri wajah imutku.
“Sania cepatlah sedikit. Ommu sudah menunggu tu
didalam mobil. Kayaknya dia sudah pengen segera menikmati pemandangan yang ada
di sudut kota Pati ini.” Ibu tiba-tiba masuk kedalam kamarku yang memang tidak
terkunci dengan membawa secangkir susu milo kesukaanku.
“iya, bu. Ini Sania sedang siap-siap kok.”
Jawabku enteng lalu langsung mengambil milo yang dibawa ibu dan cepat-cepat aku
meneguknya. Lalu, dalam hitungan menit aku sudah duduk disamping omku yang
masih berwajah muram. Namun, ketika om Bejo menyadari aku duduk riang
disampingnya, om Bejo langsung menyunggingkan senyum termanisnya.
“ Sudah siap?” tanyanya basa-basi.
“ Sudah, om. Ayo sekarang kita meluncur
menelusuri kota pati dan pelosok yang ada
di perbatasan kota Pati dengan Jepara, Kudus, Purwodadi, Rembang, dan
Blora.” Aku menjawab antusias meski tahu bahwa dalam hitungan jam aku tak akan
bisa menelusuri semua itu. Karena kota Pati sangat luas, belum lagi desa-desa
yang ada di kota Pati itu. Uh... bayak dan luas sekali, dan aku belum pernah
menjelajahi semua sudut yang ada di Pati.
“ Kamu itu gak berubah dari dulu ya. Selalu
riang dan gak pernah punya beban. Apa sudah ada cowok yang beruntung
memilikimu?” tanya om Bejo tiba-tiba.
“ Yaelah, om. Kok segitu amat sih. Sania kan
sudah berubah, om. Sekarang lihat dandanan Sania. Sudah gak kayak dulu lagi
kan.” Jawabku sekenanya.
Om Bejo tersenyum menyadari perubahan fisikku
yang semakin sempurna. Lalu, om Bejo mengacak rambut cepakku dan melanjutkan
menyetirnya dengan sangat santai.
“ Lho, om, kok ke Kajen? Mau ngapain,om?”
tanyaku sedikit kesal karena tadi om tidak bilang kalau mau ke Kajen. Kalau
tahu mau ke Kajen aku pasti tidak menggunakan kostum yang lebih cocok di pakai
di pantai. Karena tahulh Kajen itu tempatnya para Santri yang belajar ilmu
agama. Kalau aku pakai baju serba terbuka gini kan gak enak. Sungutku dalam
hati.
“ Ayo. Ikut turun nggak”? tanya om sambil
melongokkan kepalanya di jendela pintu mobil yang terbuka.
“ Tapi, om, Sania kan kayak gini.” Jawabku polos
sambil menunduk melihat kaos ketatku.
“ Yaudah gak pa-pa. Tu di kursi belakang ada
jaket. Kamu bisa memakainya kalau kamu memang malu berkostum seperti itu. Tapi
kamu cantik kok kayak gitu.” Jawab omku genit sambil mengerlingkan matanya.
Dengan ogah-ogahan aku mengambil jaket yang di
maksud omku. Lalu aku turun dengan langkah gontai.
Namun, tiba-tiba mataku kembali mengerling
ceria.
“ Om, tunggu sebentar disini.” Aku meninggalkan
omku dalam kebingungan.
Dalam hitungan detik aku sudah kembali dengan
wajah yang berbeda. Kini aku tampil layaknya santri yang sedang
berbondong-bondang sambil membawa buku tebal-tebal yang sering mereka sebut kitab kuning.
Omku hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum
melihat perubahanku.
“ Dari mana kamu dapatkan itu semua, San?” tanya
om Bejo sambil melihat baju yang kupakai. Ya, kini aku memakai baju berkurung
lengkap dengan atribut kerudung dan bros manisnya yang berwarna biru.
“ hahaha, om, om. Kayak gak tau Sania aja. Kan
sania banyak kenalan di sini.” Jawabku sambil tersenyum manis dan berlagak
anggun.
“ Kamu cantik memakai baju seperti itu. Tampak
lebih anggun dan santun.” Om Bejo memujiku.
Tiba-tiba aku tersipu malu. Karena jujur, banyak
yang bilang aku lebih cantik memakai baju muslimah. Dengan kerudung yang di
tata layaknya Inneke Koeserawati, baju kurung dan celana sedang yang membalut
tubuh idealku. Aku tampak sebagai gadis anggun yang dewasa. namun, aku segera
tak mengindahkan kata-kata omku.
“ Kita mau kemana ni, om?” tanyaku mengalihkan
topik.
Om Bejo tampak bingung mencari jawaban yang pas.
Tapi, om Bejo malah meminta aku supaya menggandeng tangannya sebelum kami
memasuku sebuah rumah makan sederhana.
Aku dan om Bejo masuk sambil tertawa-tawa mesra,
dan di deretan ujung tampak ada cewek yang memerhatikan kami dengan wajah yang
sedikit di lipat kebawah.
“Assalamu’alaikum,
Fara.” Sapa om Bejo pada gadis yang sedang melipat wajahnya. Aku sendiri tak
tau siapa gadis manis itu.
“ Siapa, om?” tanyaku berbisik. Namun om Bejo
tidak memperdulikan pertanyaanku. Lalu om Bejo mempersilahkan aku duduk di
sampingnya. Aku sedikit risi dengan yang dilakukan om Bejo. Gimana tidak? Aku
diperlakukan layaknya permaisuri. Padahal aku adalah keponakannya. Tapi aku
hanya menuruti perintahnya saja.
“Wa’alaikum salam, mas Bima.” Jawabnya sopan
namun sambil menyembunyikan wajahnya yang masih menyiratkan kemurungan. Memang
benar kalau gadis yang dipanggil Fara itu memanggil om Bejo dengan panggilan
mas Bima. Karena nama om Bejo sebenarnya Bima Prawira. Entah gimana ceritanya
akupun gak begitu paham kenapa dari nama yang bagus itu om Bejo bisa di panggil
Bejo. Tapi kata ibuku semua itu terjadi begitu saja karena alur nasibnya yang
sering mendapat keberuntungan atau bejo dalam istilah jawanya.
“oya kenalkan, ini Sania.” Om Bejo
memperkenalkan aku pada cewek manis yang ada di hadapan om.
“Calon istri mas Bima ya?” tanyanya menyelidik.
“Ya,,,, begitulah kira-kira.” Jawab om Bima
sambil mengerlingkan matanya kearahku. Aku terlonjak kaget dengan jawaban itu,
namun om Bima segera mencubit tanganku memberi isyarat. Dan akupun langsung
paham apa yang dimaksudkan omku itu. Maka, aku segera melakukan apa yang harus kulakukan meski
sebelumnya gak ada perjanjian kalau aku harus berakting sebagai calon istrinya.
“ Perkenalkan saya Sania Prasidyawati.” Aku
mengulurkan tangan padanya.
“Aku Fara. Jawabnya sambil menjabat tanganku.
Perbincanganpun terjadi diantara kami. Namun
terasa ada yang kaku antara aku dan Fara. Fara sedikit sinis terhadap aku.
Sebenarnya aku ingin segera menyudahi aktingku yang terkesan berlebihan itu,
namun om Bejo hanya tersenyum jika sudah melihat wajah Fara yang memperlihatkan
cemburunya. Begitu juga dengan aku yang rada geli dengan hal konyol ini. Entah
apa yang ada dipikiran om Bejo aku tak pernah tahu.
“ Fara, aku pengen kita ngobrol berdua saja.
Bolehkah?” tanya omku pelan.
“Berdua saja? Kenapa harus berdua? Terus Sania
gimana?” tanya Fara sedikit kaget namun ada juga kebahagiaan yang terpancar
dalam wajah manisnya.
“ Sania ya biar menyingkir kemana gitu dong. Iya
kan San?” jawab om sekenanya.
“Iya, gak papa.” Jawabku santai. Namun aku
merasa seperi kulit kacang yang dibuang setelah isinya diambil. Namun bukan om
Bejo kalau gak seperti itu. Maka tanpa menunggu komando yang kedua kalinya aku
segera berdiri meninggalkan mereka berdua.
“ Jangan pergi jauh-jauh lho, San. Aku Cuma
butuh waktu sebenta saja.” Om Bejo mengingtkanku.
“ Sip deh.” Jawabku sambil berlalu.
Aku tak tahu kenapa om Bejo melakukan hal konyol
itu. Tiba-tiba aku disuruh berakting jadi calon istrinya, tapi sekarang disuruh
pergi meninggalkan mereka hanya berdua. Sebenarnya siapa ya Fara itu? Tanyaku
dalam batin. Setauku om Bejo itu belum punya cewek ataupun caln istri deh. Tapi
siapa ya dia?
Aku masih saja membatin dalam ketidaktahuanku.
Namun aku segera mencari tempat yang asyik buat duduk. Lalu aku memutuskan
pergi ke butik baju milik kenalan omku yang dulu, beberapa tahun yang lalu
sering kukunjungi bersama keluarga ketika aku menengok om Bejo yang masih
sekolah di SMA Mathali’ul Falah dan bertempat tinggal di asrama putra Mathal’ul
Falah.
Waktu semakin sore. Akupun pamit untuk pulang.
Dan betapa kagetnya aku ketika melihat om Bejo dan Fara terlihat tampak
tertawa-tawa akrab. Namun, kebingunganku ku tahan sampai nanti ketika waktu
sudah memihak padaku untuk bertanya banyak.
“Kenapa?” tanya om melihat aku yang bingung pada
perjalanan pulang kami.
“Tadi siapa, om?” Tanyaku polos.
Lalu perjalanan kami terasa begitu cepat, dan
tiba-tiba saja sudah sampai didepan rumah. Semua itu karena om bercerita banyak tentang gadis ayu
tadi beserta perjalanan hidupnya yang akhirnya dia bisa sampai lulus S2 jurusan
Manajemen Ekonomi. Ternyata cewek tadi adalah putri guru om Bejo yang sudah
merekomendasikan om agar bisa kuliah di China dari S1 sampai S2. Sedangkan Fara
sudah lulus S2 jurusan Kedokteran. Dan om Bejo berjanji pada gurunya untuk
menemui putrinya jika sudah lulus kuliah untuk segera di pinang. Aku tak pernah
bisa membayangkan bagaimana tadi ekspresi wajah Fara ketika tahu bahwa dia
telah dibohongi om Bejo.
“Terus gimana kelanjutannya, om? Apakah Fara
akan menjadi calon tanteku?” tanyaku dengan jahil.
“ Lihat saja nanti...” Jawab om Bejo membuatku
penasaran lalu turun dari mobil.
Aku bersungut mendengar jawaban itu, namun aku
segera masuk kamar dan samar-samar dari
dalam aku mendengar ibuku berkomentar kalau aku cantik dengan busana muslimah.
Aku tersipu sendiri mendengar itu, lalu aku mematut diri didepan cermin. Aku
trkesiap melihat diriku. Ouh..... cantik juga aku. Pikirku dalam hati sambil
tersenyum.
Malam hari badanku terasa capek sekali, dan
sulit sekali untukku memejamkan mata. Dalam keadaanku yang tidak berdaya itu
tiba-tiba aku teringat kejadian tadi siang di sekolah. Ada apa dengan Bram?
Apakah dia akan bilang bahwa dia juga cinta aku? Atau.............. apakah dia
akan bilang kalau dia membenciku. Aku benar-benar diambang kegundahan. Namun,
dalam kegundahan itu aku merasakan angin malam yang semilir secara lembut
membelai rambut dan seluruh ragaku, karena ada message di HP miniku.
Sania, maaf
tadi siang aku membuatmu bingung. Sebenarnya bukan itu maksudku. Aku hanya
ingin bilang bahwa aku juga sayang kamu. Besok pulang sekolah ku tunggu kamu di
taman belakang sekolah. Bram.
Waktu yang ku tunggu-tunggupun tiba. Bel sekolah
tanda pulang telah berbunyi. Hore... aku bahagia sekali karena aku akan segera
menemui Bram, cowok yang sudah lama ku taksir. Maka buru-buru aku menyeret kaki
agar segera sampai di taman belakang. Namun apa yang kulihat sungguh diluar
dugaanku. Kakiku bergetar, ingin rasanya tubuhku ini jatuh. Namun, aku
meyakinkan hatiku bahwa itu semua bukanlah kenyataan. Maka kupaksa kakiku agar
mendekati apa yang ada di tengah taman itu. Namun sayang, semua ini bukan
mimpi. Semua ini kenyataan. Tuhan........ kuatkan hatiku. Kini aku melihat
dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat dengan nyata dan bukan lagi gosip
murahan seperti yang ku dengar disudut ruang setiap hari, bahwa Bram cowok Play
Boy. Dan bodohnya aku tak pernah percaya semua itu. Aku terlalu percaya bahwa Bram
cowok baik yang sangat lembut dan perhatian. Namun, semua salah. Kini, dengan
air mata yang hampir terjatuh dari pelupuk mata aku melihat Bram sedang
bermesraan dengan wanita lain. Lalu, tanpa bersuara aku segera lari
meninggalkan mereka sambil terisak. Sayup-sayup ku dengar dari kejauhan
Bram berteriak “Sania, jangan tinggalkan aku. Aku hanya mencintaimu seorang...”
By,
Cenung Hasanah